“Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“
(Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu)
Kewajiban shalat lima waktu adalah perkara yang disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, namun sangat disayangkan realitanya masih banyak kaum Muslimin yang melalaikan kewajiban ini, bahkan meninggalkannya secara menyeluruh. Tidaklah hal ini terjadi kecuali karena semakin jauhnya ummat Islam dari ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah serta bimbingan para Ulama. Padahal para Ulama telah sepakat akan besarnya dosa meninggalkan shalat dan bahaya yang akan menimpa pelakunya di dunia dan akhirat.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan shalat sebagai pembatas seorang mukmin dari kekufuran sebagaimana hadits beliau,
“Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir. ” (HR. Ahmad)
Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Batas) antara seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Berkata al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah: “(Ulama) kaum Muslimin tidak berbeda pendapat bahwa meninggalkan shalat wajib dengan sengaja termasuk dosa besar, dan bahkan dosanya di sisi Allah lebih besar dari dosa membunuh jiwa, dosa mengambil harta orang (tanpa alasan yang benar), dan juga lebih besar dari dosa zina, pencurian, minum khamar, dan bahwasannya perbuatan tersebut juga mengundang hukuman dan kemarahan Allah serta kehinaan di dunia dan akhirat.” (Kitabus Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 29).
Jika kita lihat sekarang ini ketika waktu shalat telah masuk dan azan dikumandangkan, kita bisa menghitung jari berapa orang yang memenuhi panggilan tersebut, apalagi shalat Subuh.
Kita juga melihat orang dengan mudahnya meninggalkan shalat hanya karena kepentingan dunia semata seperti karena tuntutan pekerjaan, rapat, pesta dan sebagainya, bahkan untuk hal-hal yang manfaat duniawinya tidak ada sama sekali seperti nonton film atau sepakbola.
Sesungguhnya fenomena kaum yang melalaikan shalat ini telah diperingatkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)
Makna menyia-nyiakan shalat dalam ayat ini bukanlah meninggalkan shalat sama sekali, sebab meninggalkan shalat lebih besar bahayanya, bahkan maknanya sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, hanyalah sekedar menyia-nyiakan waktunya.
Juga dalam firman-Nya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Al-Ma’un: 4-5)
Demikian pula makna melalaikan shalat dalam ayat ini mencakup orang yang meninggalkan shalat secara menyeluruh maupun melalaikan pelaksanaannya dari yang semestinya.
Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang-orang yang lalai akan salatnya. Beliau menjawab, yaitu mengakhirkan waktunya.”
Mereka disebut orang-orang yang shalat. Namun, ketika mereka meremehkan dan mengakhirkannya dari waktu yang seharusnya, mereka diancam dengan Wail, azab yang berat. Ada juga yang mengatakan bahwa Wail adalah sebuah lembah di neraka Jahanam, jika gunung-gunung yang ada dimasukkan ke sana niscaya akan meleleh semuanya karena sangat panasnya. Itulah tempat bagi orang-orang yang meremehkan salat dan mengakhirkannya dari waktunya.
Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah: “(termasuk dalam kategori melalaikan shalat) apakah melalaikannya dari awal waktunya, yaitu mereka selalu mengakhirkan waktu shalat atau kebanyakan waktunya, ataukah melalaikannya dari pelaksanaannya dengan benar, yaitu dengan memenuhi rukun-rukun shalat dan syarat-syarat shalat sebagaimana yang diperintahkan (oleh Allah Ta’ala), ataukah melalaikannya dari khusyu’ dalam shalat dan mentadabburi makna-makna shalat. Sedang teks ayat ini mencakup semua bentuk pelalaian tersebut. Dan barangsiapa malakukan satu bentuk pelalaian tersebut maka dia mendapatkan bagian (ancaman) dari ayat ini, dan barangsiapa yang melakukan semua bentuknya maka sempurnalah bagian ancaman terhadapnya dan lengkaplah pula sifat munafik ‘amaly dalam dirinya, sebagaimana dalam Ash-Shahihain bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Itulah shalatnya munafik, itulah shalatnya munafik, itulah shalatnya munafik, yaitu dia (hanya) duduk memperhatikan matahari, sampai ketika matahari berada pada kedua tanduk syetan (hampir terbenam) maka diapun bangkit lalu mematuk sebanyak empat (raka’at) dalam keadaan dia tidak mengingat Allah dalam shalatnya tersebut kecuali sedikit’.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/493)
Nah, jika orang yang shalat tapi meremehkan dan mengakhirkan waktu shalatnya saja diancam dengan siksaan yang pedih seperti itu apalagi orang yang meninggalkan shalat?
Shalat bagi orang yang sakit
Kala Umar terluka karena tusukan, seseorang mengatakan, “Anda tetap ingin mengerjakan salat, wahai Amirul Mukminin?” “Ya, dan sungguh tidak ada tempat dalam Islam bagi yang menyia-nyiakan salat,” jawabnya. Lalu, ia pun mengerjakan salat, meski dari lukanya mengalir darah yang cukup banyak.
Itulah contoh bagi kita bahwa dalam keadaan kritis bagaimanapun shalat tetap harus dikerjakan selama seseorang tersebut masih sadar (siuman). Keluarga si sakit harus tetap memngingatkan kepada orang yang sakit jika dia lupa untuk shalat. Tidak boleh karena alasan kasihan atau yang lainnya sehingga dia membiarkannya tidak shalat.
Berikut ini beberapa cara shalat bagi orang yang sakit. Pertama; Wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat fardhu dalam keadaan berdiri, walaupun tidak bisa berdiri tegak (berdiri miring), atau bersandar pada dinding atau tongkat.
Kedua; jika tidak mampu shalat sambil berdiri, dia diperbolehkan shalat sambil duduk. Ketika shalat sambil duduk, yang paling utama jika ingin melakukan gerakan berdiri (qiyam) dan ruku’ adalah dengan duduk mutarobi’an (duduk dengan kaki bersilang di bawah paha). Sedangkan jika ingin melakukan gerakan sujud, yang lebih utama adalah jika dilakukan dengan duduk muftarisyan (duduk seperti ketika tasyahud awwal).
Ketiga; jika tidak mampu mengerjakan shalat sambil duduk, boleh shalat sambil tidur menyamping (yang paling utama tidur menyamping pada sisi kanan) dan badan mengarah ke arah kiblat. Jika tidak mampu diarahkan ke kiblat, boleh shalat ke arah mana saja. Jika memang terpaksa seperti ini, shalatnya tidak perlu diulangi.
Keempat; jika tidak mampu mengerjakan shalat sambil tidur menyamping, maka dibolehkan tidur terlentang. Caranya adalah: kaki dihadapkan ke arah kiblat dan sangat bagus jika kepala agak sedikit diangkat supaya terlihat menghadap ke kiblat. Jika kakinya tadi tidak mampu dihadapkan ke kiblat, boleh shalat dalam keadaan bagaimanapun. Jika memang terpaksa seperti ini, shalatnya tidak perlu diulangi.
Kelima; wajib bagi orang yang sakit melakukan gerakan ruku’ dan sujud. Jika tidak mampu, boleh dengan memberi isyarat pada dua gerakan tadi dengan kepala. Dan sujud diusahakan lebih rendah daripada ruku’.
Jika mampu ruku’, namun tidak mampu sujud, maka dia melakukan ruku’ sebagaimana ruku’ yang biasa dilakukan dan sujud dilakukan dengan isyarat. Jika dia mampu sujud, namun tidak mampu ruku’, maka dia melakukan sujud sebagaimana yang biasa dilakukan dan ruku’ dilakukan dengan isyarat.
Keenam; jika tidak mampu berisyarat dengan kepala ketika ruku’ dan sujud, boleh berisyarat dengan kedipan mata. Jika ruku’, mata dikedipkan sedikit. Namun ketika sujud, mata lebih dikedipkan lagi.
Adapun isyarat dengan jari sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang sakit, maka ini tidaklah benar.
Ketujuh; jika tidak mampu berisyarat dengan kepala atau kedipan mata, maka dibolehkan shalat dalam hati. Dia tetap bertakbir dan membaca surat, lalu berniat melakukan ruku’, sujud, berdiri dan duduk dengan dibayangkan dalam hati. Karena setiap orang akan memperoleh yang dia niatkan.
Kedelapan; wajib bagi setiap orang yang sakit untuk mengerjakan shalat di waktunya (tidak boleh sampai keluar waktu), dia mengerjakan sesuai dengan kemampuannya sebagaimana yang telah dijelaskan dan tidak boleh mengakhirkan satu shalat dari waktunya.
Jika memang menyulitkan bagi orang yang sakit untuk mengerjakan shalat di waktunya, maka boleh baginya untuk menjama’ shalat (menggabungkan shalat) yaitu menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya. Boleh dilakukan dengan jama’ taqdim atau pun jama’ takhir, terserah mana yang paling mudah. Jika mau, dia boleh mengerjakan shalat Ashar di waktu Zhuhur atau boleh juga mengerjakan shalat Zhuhur di waktu Ashar. Begitu pula boleh mengerjakan shalat Isya’ di waktu Maghrib atau boleh juga mengakhirkan shalat Maghrib di waktu Isya’.
Adapun shalat shubuh, maka tidak perlu dijama’ (digabungkan) dengan shalat yang sebelum atau sesudahnya karena waktu shalat shubuh terpisah dengan waktu shalat sebelum atau sesudahnya.
Kesembilan; jika orang yang sakit tersebut ingin bersafar (melakukan perjalanan jauh) karena har
us berobat di negeri lain, dia boleh menqoshor shalat yaitu shalat 4 raka’at (Zhuhur, ‘Ashar dan Isya’) diringkas menjadi 2 raka’at. Mengqoshor shalat di sini boleh dilakukan hingga dia kembali ke negerinya, baik safar (perjalanan) yang dilakukan dalam waktu lama atau pun singkat.
wallahu a’lam bishshawab
Posting Komentar